UN tahun ini semakin carut marut, banyak sitem yang kacau didalamnya.
Dilihat dari penuturan menteri pendidikan, rusaknya UN terkesan
menyalahkan pihak pencetakan dan segala teknisi dalam pendidikan.
Sebagai kementrian berskala internasional, ketika hanya menyalahkan
teknis saja, maka itu terkesan sepele. Pemerintah hanya penentu standar,
bukan penentu kelulusan. Yang katanya hasil UN adalah tiket untuk masuk
Perguruan Tinggi, namun ada beberapa daerah terpencil misalnya, disana
tidak ada UN, tapi mereka bisa masuk Perguruan Tinggi. Bagaimana sikap
pemerintah? hal tersebut terlihat ketidakmerataan kebijakan UN. Karena
namanya evaluasi itu tidak hanya ujian tulis, berarti secara tidak
langsung mengkerdilkan sistem pendidikan tersebut. Pemerintah itu hanya
menunjukkan standar saja, bukan kelulusan. Misalnya menunjukkan hasil
karya. Pendidikan bukan hanya hasil tertentu, tapi pendidikan itu
komperenhensif. Kognitif, afektif, dan psikomitor. Berarti jika salah
satu saja (kognitif), maka terjadi ketidakseimbangan.
Sebainya
pak Mendikbud, selaku pemegang kebijakan harus bertanggung jawab
terhadap kasus tersebut, dengan melakukan tobat nasional. Sebaiknya cara
pandang kita terhadap pendidkian harus di reformasi. UPI sebagai kampus
pendidikan harus leading dalam menciptakan guru-guru yang baik. manusia sebagai mahluk kreatif harus bisa melaksanakan.
Peluang dalam berkorupsi di UN :
- BNSP : Proyek Buku Soal Tanya Jawab UN
- Bimbel : Jualan “Pelajar Sukses UN”
- Sekolah : Korupsi Dana UN
- Dinas Pendidikan : Anggaran Koruptif?
- Percetakan : Pembuatan Soal UN
Penyakit moral dalam UN :
- Soal pilihan ganda, memungkinkan contekan
- Kebocoran soal UN
- Joki UN yang berkeliaran menjanjikan kunci jawaban
- Praktek kebohongan dan menindas kelompok pintar (baca teori minroitas kreatif, Tonybee)
- Distribusi Soal Tidak Merata, Penyamaan peta kesulitan dan kemudahan soal
Ini adalah bukti bahwa UN melanggar filsafat:
Pemerintah mungkin lupa akan adanya
kecerdasan majemuk dan sifat para siswa yang memang sangat beragam. Coba
saja tanyakan pada para psikolog, setiap siswa memerlukan perlakuan
yang berbeda termasuk dalam hal cara belajar.
Sumber : Media dan Para Pakar Pendidikan UPI